Eko Gagak Episode "Idul Adha" : Nabi Ibrahim mengorbankan anaknya karena perintah Tuhan ! Apakah penguasa mengorbankan rakyat demi anaknya ?

Surabaya Jawa Timur


Surabaya - Idul Adha mengingatkan kita bahwa tak ada yang benar-benar milik kita, semuanya titipan suatu saat akan diminta kembali. Melepaskan dengan ikhlas bukan berarti kehilangan, tapi kembali ke fitrah bahwa hidup bukan soal memiliki, tetapi soal menjalani perintah dan ridha Ilahi. 

Lembah Mina adalah tempat Nabi Ibrahim meletakkan egonya, bukan membesarkannya. Kurban bukan sekadar ritual tahunan darah dan daging, tapi panggilan abadi untuk menyembelih ego yang kerap menjauhkan manusia dari cahaya Tuhannya. Di sisi lain, kita juga menyaksikan bagaimana arus informasi yang cepat dan masif terkadang mengaburkan kebenaran. 

Narasi-narasi yang dibangun demi kepentingan kekuasaan atau keuntungan pribadi sering kali membelokkan realita, mengaburkan fakta, dan menyesatkan banyak rakyat. Dalam pusaran itu, nilai-nilai kejujuran dan keadilan menjadi korban, tergantikan oleh ambisi yang tak terbendung. Maka pertanyaannya bukan lagi, "Apa yang dikurbankan Ibrahim ?", tapi "Apa yang harus kita kurbankan ?" Sebab dalam dunia modern seperti saat ini, Ismail tak selalu berupa anak tapi bisa berupa jabatan, kekuasaan, kehormatan palsu, atau bahkan identitas digital demi eksistensi. 

Ketimpangan sosial, hukum, dan arus kapitalisme yang kian menggila sering kali menimbulkan jurang pemisah yang semakin lebar antara si kaya dan si miskin. Sebagian kecil menumpuk harta dan kekuasaan, jutaan lainnya hidup dalam pengangguran, ketidakpastian ekonomi, dan menurunnya daya beli. Rumah yang besar, kendaraan mewah, portofolio investasi, hingga jumlah followers di media sosial kini menjadi tolak ukur nilai seseorang. Bahkan, ukuran keberhasilan hidup didefinisikan dari apa yang dimiliki, bukan dari siapa seseorang di hadapan Allah Swt. 

Kurban hadir sebagai pengingat bahwa kekayaan sejati adalah kemampuan untuk berbagi, bukan menimbun. Dalam situasi atau kondisi yang didewakan oleh pencitraan dan dikuasai oleh algoritma, ego menjadi tuhan baru maka sangatlah sedikit ruang tersisa untuk keikhlasan. 

Nabi Ibrahim diperintahkan menyembelih Ismail, bukan karena Allah Swt ingin nyawa Ismail, tetapi karena Allah Swt ingin membersihkan hatinya dari rasa memiliki. Inilah makna spiritual yang teramat dalam bahwa yang kita lepaskan karena Allah Swt tak akan pernah sia-sia. 

Tak ada ujian dari langit, hanya ambisi dari dalam hati. Tak ada wahyu dari Tuhan, hanya bisikan dari ruang rapat strategis. Potret getir di tengah pencitraan publik, penyalahgunaan kekuasaan, dan tirani penguasa. "Ada yang mengorbankan anaknya karena perintah Tuhan dan ada yang mengorbankan rakyat demi anaknya.” Kalimat itu tidak datang dari kotak kosong tapi sebagai bentuk perlawanan simbolik atas realitas busuk kekuasaan yang tak lagi membedakan antara kehendak Tuhan dan hasrat kekuasaan. Lebih dari 1 dasawarsa hingga hari ini bukannya berkorban demi rakyat, melainkan rakyat yang dijadikan korban bahkan berkelanjutan. Demi anak. Demi menantu. 

Rekor politik kontemporer tercatat pada bulan Desember 2020. Dahsyat ! Anak sulung perolehan suaranya diatas 85% begitu pula menantunya perolehan suaranya mencapai 55% pada pemilihan kepala daerah berdasarkan hasil quick count. 

Prestasi luar biasa yang tidak pernah dicapai oleh semua presiden sebelumnya termasuk dua presiden yang cukup lama yakni, Soekarno dan Soeharto. Sang Proklamator, berkuasa selama 22 tahun (1945-1967), tak satupun anak-anaknya atau menantunya menduduki jabatan publik, setelah 32 tahun, anaknya menjadi Wapres pada 1999 dan menjadi Presiden (2001-2004). Presiden Soeharto berkuasa lebih lama 32 tahun, baru berhasil menempatkan anaknya sebagai Menteri Sosial, itu pun hanya bertahan kira-kira 2,5 bulan pada 14 Maret-21 Mei 1998. Presiden B.J. Habibie dan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) yang sama-sama berkuasa dalam waktu singkat, di penghujung masa jabatannya tidak meninggalkan warisan jabatan untuk anak-anaknya apalagi menantunya. 

Menyulap kursi rakyat menjadi singgasana keluarga disaat rakyat mengencangkan ikat pinggang, penguasa justru menggelar karpet merah bagi anak-anak dan menantunya, beberapa diantaranya : jabatan, proyek, dana kampanye, hingga media pencitraan seolah semua halal demi darah daging sendiri. Politik dinasti bukan sekadar strategi tapi gejala dari kerakusan di negara yang pernah memproklamasikan kedaulatan ditangan rakyat. 

Pertanyaannya, mengapa rakyat diam ? Mungkin karena sudah terlalu sering rakyat dibuai dengan narasi keberhasilan yang direkayasa atau mungkin rakyat sudah letih melawan mesin kekuasaan yang begitu kuat, terorganisir. 

Rakyat sudah terlalu sering dibohongi atau ditipu, ketika seorang anak pejabat naik jabatan, disebut sebagai "prestasi" padahal yang naik bukan prestasi, tapi koneksinya. Dan ketika rakyat memprotes, jawabannya klise, "Itu hak setiap warga negara." Tapi apakah semua warga negara berhak mendapat ruang yang sama ? Apakah yang bukan anak pejabat diberikan fasilitas, jaringan, dan panggung yang sama ? Atau hanya menjadi pelengkap demokrasi kosmetik ? Inilah tragedi demokrasi yang tak pernah tuntas. 

Kita merayakan pemilu lima tahunan, tapi lupa memperjuangkan meritokrasi. Kita kagum pada pengorbanan Nabi Ibrahim a.s. tapi cara memelihara kekuasan, meniru Firaun. Apa sebenarnya hingga penguasa tega mengorbankan rakyat demi anaknya ? Jawabannya satu suara yaitu takut kehilangan kendali. 

Ketika seorang ayah tak bisa membayangkan tanpa kekuasaan, maka anaknya akan menjadi perpanjangan tangannya. Bukan untuk melayani rakyat, tapi untuk melestarikan pengaruh dan dari situlah lahir berbagai pelanggaran : manipulasi hukum, intimidasi lawan politik, kooptasi media, hingga jual-beli moral di pasar demokrasi. Menyedihkan, semua itu dibungkus dengan narasi kebaikan. "Anak saya punya kapasitas." Anak saya mewakili generasi muda, padahal jutaan generasi muda lainnya hanya jadi penonton. Generasi muda yang memiliki integritas tapi miskin tak dapat panggung, sedangkan yang kritis tapi tak punya nama keluarga, pasti diabaikan. 

Demokrasi seperti panggung drama yang naskahnya sudah ditulis jauh sebelum kita sadar. Maka jangan pilih panutan yang mewariskan jabatan, tapi yang mewariskan keteladanan. Bukan yang memelihara ego, tapi yang menjaga amanah publik. Jangan kagum pada pejabat yang rajin berpantun di media massa dan media sosial tapi tuli, bisu saat rakyat digusur dan diserang. 

Jangan pula menjadikan silsilah sebagai tolak ukur kepemimpinan. Jika itu yang jadi ukuran, maka Firaun layak didukung karena Firaun punya kekuasaan, pasukan, dan istana. Tapi sejarah mengajarkan bahwa kekuasaan tanpa kebenaran hanyalah jalan menuju kehancuran. Maka marilah kita seger waras dalam berpikir. Tak semua yang punya kuasa layak dipercaya. Tak semua yang mengusung anak muda adalah pembawa perubahan. Dan tak semua yang melempar jargon rakyat, benar-benar berpihak pada rakyat. 

Pada akhirnya, rakyatlah yang akan menjadi hakim. Jika hari ini rakyat diam diatas derita ulah penyelenggara negara yang korup, bukan berarti rakyat lupa, hanya menunggu saat yang tepat. Inilah zaman ketika kekuasaan tak lagi diposisikan sebagai amanah. Teladani ketauhidan, ketakwaan, keikhlasan dan pengorbanan Nabi Ibrahim a.s. "Selamat merayakan Idul Adha 1446 H/ 2025 M dengan ikhlas dan semangat berbagi."

Kontributor : Eko Gagak


dibaca

Posting Komentar

0 Komentar