Pray for Aceh and Sumatra Tetapkan Menjadi Bencana Nasional Usut Tuntas Ke Akar-Akarnya

 


Surabaya - Pola berulang bencana kian meningkat seiring akumulasi penebangan hutan dan perubahan iklim. Faktor alam dan ulah manusia berperan di dua dekade terakhir. Bencana banjir bandang dan tanah longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat tercatat sebagai salah satu bencana terbesar. Hilangnya fungsi hutan sebagai daya dukung untuk meredam curah hujan tinggi, dan daya tampung ekosistem, pengendali daur air kawasan melalui proses hidrologis intersepsi, infiltrasi, hingga limpasan permukaan yang menjadi cikal bakal timbulnya banjir bandang. 

Indonesia kehilangan sekitar 10,5 juta hektar hutan primer tropis terbesar kedua di dunia setelah negara Brasil sepanjang 2002-2023. Perubahan bentang alam berdampak luas, dari menurunnya keaneka ragaman hayati dan terdesaknya habitat satwa hingga melemahnya fungsi hutan sebagai penyerap karbon. Deforestasi atau penggundulan hutan yang meluas turut mengganggu stabilitas iklim, memperbesar risiko bencana, dan melemahkan keseimbangan ekosistem yang selama ini menopang kehidupan. Setiap hektar hutan yang hilang berarti berkurangnya perlindungan alam yang vital bagi keberlanjutan lingkungan. 

Hutan tesso nilo yang dulunya rumah bagi gajah Sumatra, rumah ratusan spesies, sekarang tinggal peta penuh lubang. Bayangkan 83.000 hektar kawasan yang seharusnya taman nasional sudah lebih 70 persennya dibabat oleh kebun sawit ilegal, kesalahan besar manusia yang memakai stempel kekuasaan yang memberi tiket masuk untuk perambah asal mendapatkan amplop tebal. Stop bicara pemulihan ekonomi realitanya akumulasi keserakahan yang dipelihara. 

Video belasan tahun lalu kembali beredar, saat Harrison Ford mengajukan beberapa pertanyaan kepada Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan bahwa salah satu sumber korupsi terbesar adalah di sektor kehutanan, dan sangat mengerikan. Dalam 15 tahun terakhir 80% hutan telah di eksploitasi secara komersial, mengapa terjadi antara bisnis dan politik di negara ini ? Apakah demokrasi ? Tidak lucu ! Hanya 18% yang tersisa, ilegal penebangan, pohon tergeletak di tanah bahkan terbakar. Resolusi apa yang dilakukan ? Tidak datang tiba-tiba dari langit masih banyak waktu menghentikan perilaku, "stop the activity". Indonesia mengalami apa yang di sebut dengan reformasi. Ketidakadilan, ilegalitas, dan korupsi. 

Iklim rusak disebabkan tambang liar, properti serakah, dan eksploitasi sumber air. Keselamatan manusia lebih penting dari keuntungan korporasi. Hutan yang ditebang, gunung yang ditambang, dan sumber mata air yang dikuras habis membuat iklim makin brutal. Intensitas eksploitasi tambang, pembukaan lahan, dan hisapan air mineral oleh korporasi harus dievaluasi serius. Air bukan hanya komoditas, air adalah nafas kehidupan. Jika izin mineral, tambang, dan penggalian terus diberikan tanpa batas maka cuaca ekstrem, longsor, banjir bandang, serta hilangnya permukiman hanya menunggu waktu. Bencana yang tengah terjadi, apa penyebabnya dan siapa yang harus bertanggung jawab ? Kayu pohon yang ter gergaji dengan jelas harus ditelusuri dan diusut tuntas ke akar-akarnya. Seluruh rakyat Indonesia memiliki hak untuk melakukan penuntutan hingga ke Mahkamah Internasional. Pemerintah dinilai telah gagal melalui kebijakan-kebijakan penanggulangan terhadap krisis iklim hingga berakibat seperti yang terjadi di Sibolga, Tapanuli Tengah, Aceh, dan Sumatra Barat. 

Beberapa Menteri yang wajib diminta pertanggung jawaban antara lain : 

1. R. J. Anthoni politikus PSI menjabat sebagai Menteri Kehutanan Kabinet Merah Putih periode 2024-2029

2. Zulkifli Hasan politikus PAN mantan Menteri Kehutanan periode 2009-2014 

3. Bahlil Lahadalia politikus dan Ketua Umum Partai Golongan Karya menjabat sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral

4. Hanif Faisol Nurofiq menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup/ Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Kabinet Merah Putih

Di Korea Utara 30 pejabat yang tidak berhasil menangani banjir langsung di eksekusi, di Negara Thailand seorang Kepala Daerah diberhentikan dari jabatannya akibat kelalaian serupa. Dua negara dua sikap tercepat meski berbeda wajah demokrasinya, telah menunjukkan bahwa kegagalan memiliki konsekuensi, dan sementara di Indonesia sebuah ironi yang tidak pernah benar-benar selesai. Presiden sibuk pantau situasi bencana, atau mengulang janji memberantas korupsi. Di satu sisi memberikan penghargaan kepada sosok yang pernah terjerat korupsi. Benarkah banjir bandang dan tanah longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat merugikan negara hingga 68 trilliun ? Lantas, siapa yang bertanggung jawab ? Apakah bencana dipicu oleh alih fungsi hutan yang menjadi lahan sawit dan tambang ? Apa mendesak moratorium sawit dan tambang agar kerugian dan bencana ekologis tak terus berulang ? Mengapa pemerintah tidak mengeluarkan dana darurat di tiga provinsi yang terkena musibah ? Apa tindakan pemerintah terhadap segelintir orang yang telah merusak hutan di Sumatra ? Kemana pemerintah daerahnya ? Apa maksud Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan yang mengatakan bencana banjir bandang dan tanah longsor di Sumatra imbas siklon tropis senyar ? 

Bencana banjir bandang dan tanah longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat sungguh peristiwa fakta, merenggut banyak korban jiwa, harta benda, dan kerusakan. Infrastruktur telah porak poranda bahkan hilang tak tersisa. Musibah bukan hanya penderitaan masyarakat terdampak, tetapi duka mendalam untuk Indonesia. Tak terhitung lagi bencana banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi diberbagai wilayah Indonesia akibat kesalahan tata kelola lahan dan hutan. Bukan disebabkan oleh faktor alam semata dan tidak bisa dipungkiri penyebabnya adalah ulah manusia yang turut memperparah bencana. Menyoroti dampak bencana tidak hanya kerugian materi, tetapi luka emosional yang dialami korban dan menggugah kepedulian juga kemarahan. 

Dampak bencana banjir bandang dan tanah longsor di Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat membutuhkan penanganan lebih intensive dalam skala nasional. Hampir semua akses darat ke lokasi banjir bandang lumpuh total berakibat bantuan kemanusiaan sulit di distribusikan. Secara fiskal sangat sulit mengharapkan pemerintah daerah menangani bencana dengan skala masif pasca kebijakan efisiensi APBD. Variable jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana hingga cakupan luas wilayah yang terkena bencana serta dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan telah melampaui kapasitas. Pemerintah daerah membutuhkan intervensi penuh dari pemerintah pusat. Sementara pemerintah pusat masih mempertimbangkan untuk menetapkan status Bencana menjadi Bencana Nasional. Jika mengacu pada Undang-Undang Penanggulangan Bencana, banjir bandang dan tanah longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat di kategorikan masuk dalam Bencana Nasional bahkan bisa dikatakan sebagai bencana ekologis. 

Mengapa bencana banjir bandang di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, tidak ditetapkan sebagai bencana nasional ? Sungguh bencana atau ujian kesabaran. Listrik mati, logistik menyangkut, makanan menipis, dan lokasi terisolasi. Apakah banjir bandang harus ke Jakarta dulu ? Yang jelas bukan soal label, tapi soal kecepatan merespon. Pertanyaannya cuma satu, banjirnya sudah nasional lalu kapan kesadaran pemerintah menyusul ? Rumor beredar apabila banjir bandang dan tanah longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat ditetapkan menjadi bencana nasional dikhawatirkan akan terungkap persoalan Sumber Daya Alam di Pulau Sumatra. Dikeruk, dikuras, dan dirampas. Selain itu, agar dunia tidak menyaksikan betapa kejamnya sistem pemerintahan. 

Sebagian besar rakyat Indonesia sudah muak melihat pejabat senyum manis bagi-bagi sembako dengan menggunakan wajah kesopanan tetapi dibalik senyumannya menyimpan niat terselubung yang membuat hutan Sumatra digilas truk tambang. Tidak habis pikir rusaknya bangsa ini, rela memberikan karpet merah untuk para pejabat yang izin-izinnya berakibat fatal merusak alam. Mungkinkah Sumatra bukan bencana tetapi rencana ? Mohon maaf dikoreksi. Apa semua rencana Tuhan ? Gelondongan kayu menjadi saksi. Gelondongan kayu terseret arus banjir bandang di kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah hingga Sibolga. Tak hanya di Sumatra Utara, gelondongan kayu juga berserakan di pantai air tawar Sumatra Barat yang mengaitkan gelondongan kayu dengan praktik penebangan liar (illegal logging) memperparah banjir dan tanah longsor. Politik memang kejam, bencana yang ditimbulkan bukan main. Stakeholder deforestasi seolah tutup mata sedangkan para korban hingga kini terus berjuang, dan bertahan dengan kondisi seadanya. 

Berdasarkan BNPB melalui situs Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Bencana (Pusdatin BNPB), data korban akibat banjir dan longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat tertanggal 2/12/2025 : Meninggal  : 659 jiwa

Hilang         : 475 jiwa

Terluka        : 2600 jiwa

Terdampak : 3, 2 juta jiwa

Mengungsi : 1,1 juta jiwa

Rumah rusak berat : 3500 unit

Jembatan rusak : 277 unit 

Berikut data terbaru tanggal 3/12/2025 : 

Meninggal : 753 jiwa

Hilang        : 650 jiwa

Terluka      : 2600 jiwa 

Di bagian akhir, pemerintah harus melakukan peninjauan ulang nasional. Hentikan izin rakus yang mengorbankan nyawa, kurangi eksploitasi, dan kembalikan keberpihakan kepada alam dan seluruh rakyat Indonesia. Mengimbau panjatkan doa untuk saudara-saudari sebangsa dan setanah air di Aceh,  Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. 

Ya Tuhan, berikanlah kekuatan kepada para korban banjir dan tanah longsor di Aceh dan Sumatra. 

Ya Tuhan, lindungilah para korban banjir di Aceh, dan Sumatra dari segala bahaya. 

Ya Tuhan, bukakanlah jalan keluar yang terbaik bagi para korban banjir dan tanah longsor di Aceh, dan Sumatra.

Ya Tuhan, ampunilah dosa-dosa para korban banjir dan tanah longsor di Aceh, dan Sumatra yang telah meninggal dunia, terimalah amal ibadahnya, dan berikanlah tempat yang terbaik di sisi-Mu. Aamiin. 


Artikel : Eko Gagak


dibaca

Posting Komentar

0 Komentar