Ritual Budaya Nyadran di Surabaya Rayakan 10 Tahun FPL

Surabaya Jawa Timur


Surabaya - Menjelang akhir bulan Suro atau Muharram 1447 Hijriah, suasana khidmat menyelimuti kawasan makam Mbah Kapiludin, ketika Forum Perjuangan Lokamandiri (FPL) dan Sanggar Sekar Wangi bersama warga sekitar menggelar ritual budaya nyadran. Acara yang berlangsung pada Minggu, 27 Juli 2025, ini sekaligus menjadi momen perayaan yang menandai 10 tahun keberadaan FPL.

Dimulai pukul 14.00 WIB dari Jalan Jarak 88, arak-arakan membawa tumpeng dan uba rampe sesaji Suro beranjak menuju makam Mbah Kapiludin, diiringi oleh pertunjukan seni tradisional jaranan. Tradisi tumpeng nguri-uri budaya makam, yang disajikan di area pemakaman, merupakan bentuk penghormatan kepada leluhur sekaligus mempererat tali silaturahmi antarwarga.

Dikenal dengan nama Cak Kanan, tokoh masyarakat yang turut hadir, menyampaikan apresiasi terhadap acara tersebut, yang dinilai sebagai sarana untuk melestarikan budaya gotong royong dan menjaga kekompakan masyarakat. Prosesi nyadran dimulai dengan doa yang dipimpin oleh Ibu Endang, pimpinan Sanggar Sekar Wangi, menggugah perasaan bagi semua peserta untuk memperingati jasa dan mengenang arwah leluhur.

Sayangnya, acara yang berjalan lancar ini tampaknya kurang mendapatkan perhatian dari Pemerintah Kota Surabaya, karena tidak terlihat kehadiran perwakilan pemerintah setempat. Hanya anggota Polsek dan Koramil yang dikerahkan untuk menjaga keamanan dan ketertiban selama prosesi.

Mbah Kapiludin sendiri adalah sosok penting dalam sejarah lokal, diperkirakan makamnya telah ada sejak ratusan tahun silam dan terhubung dengan sejarah Sunan Ampel dan Mbah Karimah di Kembang Kuning. Pemerintah Kota Surabaya tengah merencanakan revitalisasi kawasan ini menjadi destinasi wisata religi. Hal ini menjadi penting mengingat keberadaan makam Mbah Kapiludin di Kupang Gunung Timur Gang VII, Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, menciptakan peluang ekonomi bagi warga setempat jika dikelola dengan baik.

Namun, hingga kini, perhatian Pemkot Surabaya terhadap pengembangan area sekitar makam masih diharapkan lebih maksimal. Kawasan yang terbilang sempit ini seharusnya diperluas agar memberikan kenyamanan bagi pengunjung, sekaligus tidak mengganggu aktivitas warga. Di sisi lain, warga sekitar masih berbicara tentang hilangnya mata pencaharian setelah penutupan kawasan Dolly, yang sebelumnya merupakan sumber pendapatan dari berbagai usaha kecil.

Semoga melalui kegiatan ini, tradisi uri-uri budaya di Surabaya dapat terus berlanjut, memberikan manfaat bagi masyarakat setempat dan memperkaya khazanah budaya bangsa.


(bersambung)


Kontributor: EKO GAGAK


dibaca

Posting Komentar

0 Komentar